Depoedu.com-Papua bergolak lagi setelah kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyerang kompleks perumahan guru Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan.
Serangan pertama, terjadi pada Jumat (21/03) siang setelah proses belajar mengajar. Pada serangan tersebut, para guru yang baru pulang sekolah berhasil menyelamatkan diri, namun beberapa orang menderita luka tusuk.
Seperti dilaporkan BBC, korban yang luka dibawa ke pusat kesehatan untuk perawatan. Malam itu di pusat perawatan, mereka bisa istirahat, namun tetap was-was karena takut dengan serangan susulan yang mungkin kembali datang.
Pagi harinya pukul delapan, (Sabtu 22/03) ketika para korban luka pada serangan pertama sedang dirawat, para pelaku kembali datang dan melakukan serangan untuk yang kedua kalinya. Dalam serangan tersebut kelompok penyerang berhasil menewaskan Ibu Guru Rosalia Rerek Sogen.
Selain korban tewas, serangan tersebut juga melukai 7 orang lainnya, 4 orang luka ringan dan 3 orang luka berat. Kepada BBC seorang korban bertanya-tanya, kenapa dirinya dan rekan guru lainnya menjadi sasaran serangan? Padahal kata dia, mereka warga sipil biasa. Dan serangan terhadap guru ini bukan merupakan serangan yang pertama.
Pada Desember 2024 lalu, seorang guru honorer asal Toraja dilaporkan menjadi korban pembunuhan TPNPB-OPM di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Sebelumnya pada Oktober 2023 dilaporkan OPM juga menyerang lima orang tenaga kesehatan di distrik Amuma Yahukimo.
Baca juga : SMA Santo Carolus Tarakanita Surabaya Gelar Buka Bersama Warga Sekitar Sekolah
Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom kepada BBC mengatakan bahwa mereka yang bertanggung jawab dalam rangkaian serangan terhadap guru dan tenaga kesehatan termasuk dalam serangan terakhir di distrik Anggruk. Kata dia, “karena guru dan tenaga kesehatan merupakan agen militer Indonesia.”
Untuk memperkuat klaim tersebut Sebby mengutip pernyataan Jenderal Agus Subiyanto yang menyatakan, ”Sekarang di Papua yang mengajar dan tenaga kesehatan itu, anggota saya semua.”
Namun, tuduhan itu dibantah oleh Kapendam Cenderawasih Kolonel Candra Kurniawan. Ia menegaskan, korban-korbannya adalah benar-benar guru dan tenaga kesehatan. Kolonel Candra mempersilakan Sebby untuk mengkonfirmasi pada semua pihak terkait.
Lindungi Guru dan Tenaga Kesehatan di Papua
Situasi ini menjadi kesulitan tersendiri dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan di Papua, yang justru menjadi problem besar pembangunan di sana. Guru dan tenaga kesehatan yang adalah warga sipil terlanjur dianggap musuh oleh OPM.
Situasi ini jika tidak diantisipasi oleh pemerintah daerah, bisa terjadi krisis dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan di papua. Pada hal dua bidang ini merupakan pelayanan primer yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang 90 persen pekerjanya datang dari luar daerah. Mereka rawan karena dianggap musuh oleh OPM.
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mengambil langkah perlindungan keamanan, guna menjamin keamanan kepada guru dan tenaga kesehatan terutama di pedalaman Papua agar guru dan tenaga kesehatan bisa bekerja dengan aman dan tidak lagi jatuh korban-korban baru.
Baca juga : Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda: Mimpi Baru atau Jurang Baru?
Langkah tersebut tidak harus dengan pendekatan kekuatan militer tetapi melalui pendekatan budaya dengan melibatkan Pemerintah Daerah, Tokoh Masyarakat setempat, Tokoh Agama terutama gereja, dimotori oleh Yayasan-yayasan pengelola sekolah dan pusat kesehatan masyarakat.
Secara bersama-sama mendorong tumbuhnya komitmen untuk pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Di pihak lain, para pengelola sekolah perlu menunjukan sikap netral mereka dari kutub kutub yang bertikai. Bahwa mereka hanya bekerja untuk melayani kepentingan pendidikan anak dan kesehatan masyarakat.
Selain itu, aparat keamanan, didorong untuk bekerja lebih cepat dan antisipatif untuk mengatasi kerawanan keamanan yang muncul. Jika aparat bekerja lebih cepat dan antisipatif untuk serangan kedua di distrik Anggruk terjadi, tidak akan menimbulkan korban meninggal.
Seharusnya serangan kedua dapat diantisipasi aparat, karena serangan kedua terjadi lebih dari 6 jam setelah serangan pertama. Namun karena aparat tidak cepat dan tidak antisipatif maka kehadiran mereka bukan untuk melindungi guru, melainkan cuma untuk melakukan evakuasi. Itu memang tipikal aparat keamanan dan kepolisian kita, selalu terlambat.
Selain itu, yayasan-yayasan pengelola sekolah perlu melatih guru-guru dan petugas kesehatan dalam menghadapi situasi-situasi darurat seperti serangan kelompok bersenjata. Paling tidak mereka harus mengetahui kontak-kontak penting yang harus dihubungi ketika dalam keadaan darurat.